Kamis, 27 Februari 2014

FoR JApaN lUnaTiC

Sekilas Sejarah Puisi Jepang
--------------------------
Bangsa Jepang baru mengenal sistem tulisan dan kegiatan tulis menulis pada abad ke-8 Masehi. Dan tulisan-tulisan yang pertama kali adalah berbentuk puisi.
Puisi Jepang dahulu dibawakan secara lisan yang kemudian pada akhirnya ditulis dan menjadi cikal bakal buku-buku pertama di Jepang. Semua pria dan wanita Jepang zaman dahulu menggunakan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi. Mungkin itulah sebabnya mengapa orang Jepang sering memasukkan puisi dalam surat-surat mereka.
Puisi Jepang memiliki banyak ragam seperti: Haiku, Tanka dan Renga. Secara khusus, puisi tradisional Jepang ini berisi tentang kehidupan sehari-hari, cinta dan juga tentang alam. Antara puisi Jepang yang satu dengan puisi Jepang yang lain memiliki ciri khusus dengan struktur dan susunan atau tata letak yang beragam pula.
 
 
Ragam Puisi Jepang
------------------
1. Haiku
Haiku adalah salah satu bentuk puisi tradsional Jepang yang paling penting. Haiku adalah sajak terikat yang memiliki 17 silaba/sukukata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 sukukata. Sejak awalnya, sering muncul kebingungan antara istilah Haiku, Hokku dan Haikai (Haikai no Renga). Hokku adalah sajak pembuka dari sebuah rangkaian sajak-sajak yang disebut Haikai no Renga. Hokku menentukan warna dan rasa dari keseluruhan rantai Haikai itu, sehingga menjadi penting, dan tak jarang seorang penyair hanya membuat hokku tanpa harus menulis rantai sajak lanjutannya.
Istilah Haiku baru muncul 1890an, diperkenalkan oleh Masaoka Shiki. Haiku boleh dibilang pembebasan Hokku dari rantai Haika. Haiku bisa berdiri sendiri, sudah utuh pada dirinya tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang. Tokoh lain dalam reformasi Haiku ini adalah Kawahigashi Hekigoto yang mengajukan dua proposisi:
1. Haiku akan lebih jujur terhadap realitas jika tidak ada "center of interest" (pusat kepentingan, fokus perhatian) di dalamnya
2. Pentingnya impresi penyair pada hal-hal yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan warna-warna lokal (ini tidak jauh berbeda dari kaidah hokku, TSP)
                Singkatnya, sejarah haiku muncul baru pada penggal terakhir abad ke-19. Sajak-sajak yang terkenal dari para empu jaman Edo (1600-1868) seperti Basho, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai meski pada umumnya sajak-sajak mereka itu sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Ada juga yang menyebut Hokku sebagai "Haiku klasik", dan Haiku sebagai "Haiku modern".
Di luar Jepang, terutama di Barat (mungkin awalnya dari penerjemahan haiku Jepang) haiku mengalami degradasi(?) dengan absennya beberapa prinsip dasar hokku (haiku klasik). Pola sajak 17-silaba itu menjadi tidak ketat diikuti. Akhirnya haiku di barat hanya tampil sebatas bentuk pendeknya saja.
               Haiku tidak memiliki rima/persajakan (rhyme). Haiku "melukis" imaji ke benak pembaca. Tantangan dalam menulis haiku adalah bagaimana mengirim telepati pesan/kesan/imaji ke dalam benak pembaca HANYA dalam 17 silaba, dalam tiga baris saja!
Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti. Dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikuti pola ini, dan biasanya menjadi lebih longgar.
               Haiku bisa mendeskripsikan apa saja, tetapi biasanya berisi hal-hal yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh pembaca awam. Bebarapa haiku yang kuat justru menggambarkan kehidupan keseharian yang dituliskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepada pembaca suatu pengalaman dan sudut pandang baru/lain dari situasi yang biasa tersebut. Haiku juga mengharuskan adanya "kigo" atau "kata (penunjuk) musim", misalnya kata "salju" (musim dingin), "kuntum bunga" (musim semi), sebagai penanda waktu/musim saat haiku tersebut ditulis. Tentu saja kata-kata penanda musim ini tidak harus selalu jelas-terang.
Bagaimanapun juga, saat ini haiku di tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturan-aturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan. Silakan menulis haiku dengan pertimbangan Anda sendiri, apakah akan mematuhi aturan-aturan baku dari haiku Jepang yang asli, ataukah lebih mementingkan esensi atau ruh dari haiku dengan membengkokkan beberapa syariatnya. Di sinilah tantangan kesulitan, sekaligus kenikmatan menulis haiku.
Bentuk asli Haiku sebenarnya berasal dari Renga. Haiku adalah puisi Jepang yang pendek dikarenakan pemotongan atau dalam artian karena adanya pemenggalan pada kalimat yang sebenarnya memanjang.
Basho adalah seorang penyair Jepang yang terkenal dan yang juga telah berjasa dalam mengenalkan Haiku. Walaupun Haiku bertahan hingga saat sekarang ini, namun orang-orang Jepang lebih menikmati membuat puisi dengan bentuk modern atau masa kini dibandingkan membuat Haiku
               Sejalan dengan waktu, struktur Haiku mengalami perubahan yang sangat drastis. Pada abad ke-15 M bentuk asli Haiku berubah menjadi sekitar seratus versi yang masing-masing dari versi tersebut masih memiliki jumlah suku kata yang spesifik dengan Renga. Saat ini Haiku terdiri dari 17 suku kata walaupun dengan struktur yang selalu berubah-ubah di setiap masa. 
Haiku dapat berisi tentang apa saja. Tetapi banyak orang menulis Haiku untuk menceritakan tentang alam dan kehidupan sehari-hari. Tiga baris Haiku menciptakan rasa yang menggambarkan emosi dari penyairnya.
 
Contoh Haiku:
Kono michi ya
Di jalan ini
Yukuhito nashini
Tak tampak seoranpun,
Oki no kure
senja musim gugur
 
 
Sebuah karya Basho yang terkenal:
Furuike ya
Di kolam tua
Kawazu tobikomu
Katak melompat masuk
Mizu no oto
Air berbunyi
 
Sebuah karya Kenji Miyazawa yang terkenal:
Ame ni mo makezu - tidak kalah oleh hujan
Kaze ni mo makezu - tidak kalah dari angin
Yuki ni mo natsu no atsusa ni mo makenu - tidak kalah oleh salju maupun panasnya musim panas
Joubu na karada wo mochi - dengan tubuh yang kuat
Yoku wa naku - tanpa nafsu
Kesshite ikarazu - tanpa amarah
Itsu mo shizuka ni waratte iru - selalu tersenyum dengan tenang
Ichi nichi ni genmai yon gou to - setiap hari empat mangkuk beras merah
Miso to sukoshi no yasai wo tabe - miso dan sedikit sayuran untuk makan
Arayuru koto wo - untuk segalanya
Jibun wo kanjou ni irezu ni - tanpa perlu tagihan
Yoku mi-kiki shi wakari - melihat dan mendengarkan dengan baik sampai  paham
Soshite wasurezu - lalu tidak melupakan
Nohara no matsu no hayashi no kage no - di bawah bayangan hutan pohon pinus
Chiisa na kayabuki no koya ni ite - berada di sebuah gubuk kecil beratap jerami
Higashi ni byouki no kodomo areba - jika ada anak yang sakit di Timur
Itte kanbyou shite yari - ku akan pergi merawatnya
Nishi ni tsukareta haha areba - jika ada seorang ibu yang kelelahan di Barat
Itte sono ine no taba wo oi - ku akan pergi memikul bebannya (sekarung beras)
Minami ni shinisou na hito areba - jika ada seseorang yang hampir mati di Selatan
Itte kowagaranakute mo ii to ii - ku akan pergi dan mengatakan tidak perlu takut
Kita ni kenka ya soshou ga areba - jika ada pertengkaran atau pelanggaran hukum di Utara
Tsumaranai kara yamero to ii - menyuruh mereka menghentikannya karena itu hal yang tak berarti
Hidori no toki wa namida wo nagashi - membiarkan airmata jatuh ketika ada kekeringan
Samusa no natsu wa oro-oro aruki - berjalan mengembara ketika dinginnya musim panas
Minna ni deku-no-bou to yobare - disebut bodoh oleh semua orang
Homerare mo sezu - tanpa dipuji
Ku ni mo sarezu - tanpa menyalahkan
Sou iu mono ni watashi wa naritai - aku ingin menjadi orang yang seperti itu
 
2. Tanka
            Ragam lain dari puisi Jepang adalah Tanka yang usianya lebih tua dari Haiku tetapi tidak seterkenal Haiku. Tanka telah dikenal sebagai salah satu jenis puisi di Jepang sekitar 1300 tahun. Tanka biasanya dibuat setelah selesainya sebuah peristiwa, kejadian atau suatu perayaan yang spesial.
            Tanka cenderung lebih panjang dari Haiku, dan itu memberikan ruang kapada para penyair untuk lebih dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih dalam. 
             Secara khusus, Tanka ditulis atas perasaan seseorang. Dalam menulis puisi jenis ini, pertama yang harus ditulis adalah tentang sesuatu yang disenangi dan memiliki hasrat atas sesuatu tersebut. Sebagai contoh yaitu tentang alam, tentang suatu tempat, keluarga, cinta atau kehidupan sehari-hari yang menyenangkan dan merupakan sesuatu yang dianggap benar.
Menulis Tanka dengan baik akan menciptakan kecemerlangan penggambaran atau mendapat kesan yang mendalam yang sangat berkaitan dengan perasaan. Jenis puisi seperti ini memberikan penyair kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya dengan cara yang unik.
 
Syair di bawah ini merupakan Tanka yang terdapat di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man'yōshū 万葉集 (koleksi sepuluh ribu daun) karya Ōtomo no Yakamochi:
kedashiku mo - mungkin
hito no nakagoto - mulut yang membisu
kikase ka mo - mungkinkah terdengar
kokodaku matedo - sebab aku telah menunggu lama
kimi ga kimasanu - kau tak kunjung datang
 
 
3. Renga
            Ragam puisi Jepang lainnya lagi adalah Renga. Berdasarkan sejarahnya, puisi Jepang berkembang terus. Seiring waktu, tekniknya selalu mengalami perkembangan. Dari seorang penyair, kemudian menjadi dua orang penyair dapat bekerja sama dalam menciptakan sebuah puisi di waktu yang bersamaan, konsep ini dikenal dengan Renga.
            Latar belakang ide pembuatan Renga ini yakni salah seorang penyair menuliskan bagian yang menjadi idenya dan penyair lainnya menuliskan kelanjutan puisi dari ide penyair yang pertama dengan idenya sendiri. Dua orang penyair menyatukan ide-ide mereka membentuk sebuah puisi, kegiatan ini di waktu dahulu menjadi sebuah hiburan yang populer. Banyak orang berpikir bahwa membuat                     Renga sama halnya bermain dalam sebuah kompetisi. Dalam mengikuti permainan seperti ini – seperti halnya sebuah kebiasaan, dibutuhkan pemikiran yang cepat dan dengan rasa humor yang baik untuk dapat bermain Renga. Renga lebih dulu jauh dikenal dari ragam puisi Jepang lainnya dan mencakup sekitar 100 versi. 
 
4. Senryu
           Senryu (川柳, senryuu) memiliki struktur fisik yang sama dengan haiku yaitu terdiri dari tiga baris dengan jumlah mora tiap barisnya masing-masing 5-7-5 (go-shichi-go). Namun, isi suatu senryu lebih ringan dan bahkan bisa saja lawakan. Dalam senryu juga tidak ada aturan kompleks pada haiku misalnya mengenai kigo (季語, kata musim). Dengan kata lain, kalau haiku merupakan bentuk puisi elit yang serius, senryu bisa digunakan untuk mengekspresikan diri secara santai atau sekedar bersenang-senang.
          Nama senryu sendiri diambil dari pujangga yang mencetuskan jenis puisi ini yaitu Karai Senryuu (柄井川柳). Kanji pada senryu berarti dedalu sungai.

Perhatikan contoh senryu berikut ini:
dorobou o - Pencuri
toraete mireba - Saat kutangkap
waga ko nari - Anakku sendiri

           Contoh  senryu di atas  terbagi menjadi tiga baris. Jumlah mora tiap barisnya 5 (どろぼうを), 7 (とらえてみれば), dan 5 (わがこなり). Jadi aturannya hanya itu saja, tiga baris dengan jumlah mora 5-7-5. Isinya bebas.
          Dari segi bahasa, senryu di atas menarik karena ditulis di zaman dahulu (1700-an). Perhatikan bahwa waga (milik saya) merupakan bentuk yang terdengar lebih formal atau kuno dibandingkan dengan watashi no. waga sendiri sebetulnya bisa dipecah menjadi wa (saya) dan ga (partikel kepemilikan kuno). Contoh ga yang berfungsi seperti no modern ini misalnya pada tenshi ga gotoku (bagai malaikat) yang sama saja dengan tenshi no gotoku atau yang lebih terdengar modern tenshi no you ni.
Perhatikan juga bahwa nari adalah bentuk kuno dari deklaratif da.
 
Contoh senryu lain:
gakkou wa - sekolah
minna iru kara - semua teman ada di sana
sugoi n da - jadinya asyik
......
hon yonde - membaca buku
ooki na yume ga - mimpi besar
umareta yo - terlahir
......
nendomatsu - akhir tahun fiskal
dare ga kimeta no - siapa yang menetapkannya?
sangatsu ni – pada bulan Maret
 
......
Puisi berikut merupakan puisi yang dianggap dibuat oleh Emperor Yūryaku | 雄略天皇  | Yūryaku-tennō (abad ke-5)
 
Romaji:
ko mo yo
miko mochi
fukushi mo yo
mibukushi mochi
kono oka ni
na tsumasu ko
ie kikana
na norasane
soramitsu
yamato no kuni wa
oshinabete
ware koso ore
shikinabete
warekoso mase
ware ni koso wa
norame
ie o mo na o mo
 
Terjemahan:
Keranjangmu,
keranjang mungil
Tajakmu terlalu kecil
Nona, yang menjumput bunga
di gigir bukit
Kepadamu aku bertanya: Siapa namamu?
Seluruh negeri Yamato
Luas nian kuasaku
jauh sungguh pengaruhku
Maka, katakan padaku
Di mana rumahmu, siapa namamu?
 
Berbagai sumber
 
Salam,
Headchief of Japanlunatic

Adeluna
Read More ->>

KaBuT KAsuMi

Kasumi menatap Isao dari kejauhan. Sepupunya itu kelihatan gagah dan tampan. Biasanya pun seperti itu. Apalagi sekarang, saat lelaki yang baru saja merayakan  ultah yang kedua puluh itu akan mengadakan upacara pernikahan Shinto.
Shinto hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat mereka saja. Hanya ada sekitar tiga puluhan orang dari pihak lelaki, dan tiga puluhan orang juga dari  pihak perempuan. Isao sendiri konon yang memilih untuk mengadakannya di altar suci ini dipimpin pendeta Shinto, dibanding ke hotel atau restauran yang juga dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan. Kuil Daijingu di Chiyoda Tokyo ini memang terkenal sebagai tempat pertama dilangsungkannya Sintho sebelum akhirnya tradisi ini menyebar ke seluruh Jepang. Selain Isao, ternyata banyak pasangan lain yang juga mengikat janji hari ini. Mungkin karena ini salah satu dari hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang.
“Kamu kelihatan pucat, Kasumi”
“Aku nggak apa – apa, bu” gadis itu menundukkan kepalanya demi menutupi  raut sedih dan cemburu yang bercampur jadi satu.
Kasumi memegangi dadanya, menyembunyikan perihnya, sejak awal upacara pernikahan saat Isao dan pengantin perempuan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Ada yang berteriak dalam dada Kasumi saat Isao dan perempuan itu melakukan ritual san-sankudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, Isao menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan, pun demikian dengan perempuan di sisinya. Kabut di mata Kasumi makin tebal. Hatinya menjerit nyeri. Seharusnya dia yang ada di sisi Isao. Atau semestinya Isao tidak ada di sini. Seharusnya Isao mati.
Saat mempelai perempuan dan Isao saling berhadapan untuk mengucap janji, keluarga mereka juga saling berhadapan. Kasumi yang hadir sebagai bagian dari keluarga Isao sebenarnya merasa tak kuat lagi memendam perih batinnya. Namun adat dan sopan santun tetap menjadi prioritasnya, sehingga dia mencoba bertahan.
Setelah ucap janji, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan. Kasumi yang seharusnya juga meminumnya, hanya membasahi sedikit bibirnya dengan sake itu. Takkan masuk ke dalam perut jika dia paksakan, karena yang terjadi mungkin dia malah akan memuntahkannya.
Selesai upacara, Kasumi bersama saudara yang lain mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki, sejenis pohon keramat, yang ditujukan kepada Dewa Shinto.
“Semua ritual Shinto ini untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa” bisik ibunya saat Kasumi menanyakan hal ini.
Prosesi pernikahan sebenarnya singkat dan sederhana juga sangat khidmat. Apalagi maknanya memang untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani. Tapi semuanya terasa lama, panjang dan menyiksa bagi Kasumi.
Baginya semua ini seperti mimpi buruk.  Nama  Isao – sepupu dari garis ayahnya itu- sebenarnya berarti kehormatan. Dengan pernikahan ini, semakin terhormatlah dia, semestinya. Tapi Kasumi menyimpan kisah yang perih dan menyakitkan tentang Isao. Pedihnya masih terasa sampai kini, dan entah sampai kapan.

Naoko, perempuan yang entah beruntung atau justru rugi karena dipersunting Isao, kulitnya dicat putih dari kepala hingga ujung kaki. Konon itu melambangkan kesucian, sekaligus menyatakan status kesuciannya kepada para dewa. Yach, nama Naoko artinya anak yang baik dan terhormat. Kini dia benar – benar telah terhormat karena sampai di pelaminan, tempat mengikat janji suci. Dengan selamat, tanpa kecelakaan sebelumnya seperti pada umumnya anak – anak muda jaman sekarang.
Sedangkan aku? Aku adalah Kasumi, sebuah nama yang artinya  adalah kabut, bisik hati Kasumi dengan kesal. Seperti itulah dirinya, berkabut pilu dan kematian jiwa sementara raganya masih ada.
Tragisnya Naoko -yang entah beruntung atau merugi itu- kemarin sempat meminta pendapat Kasumi di saat disuruh memilih oleh periasnya, mana yang dia pilih di antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi, yang secara harafiah bermakna menyembunyikan tanduk. Dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya.
“Tudung ini untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga. Kita, masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya” jelas sang perias saat Naoko menanyakannya.
Kasumi dengan hati yang berantakan, menyilangkan tangan bersedekap di dadanya yang serasa remuk.
“Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, ini juga melambangkan ketetapan hati untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesedian untuk melaksanakan peran dengan kesabaran dan ketenangan.” Sang perias memasangkan topi itu di kepala Naoko agar mereka sama – sama bisa melihat tampilannya.
“sudah jadi kepercayaan tradisional kita bahwa rambut sebaiknya dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga butuh mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambut “ perias itu tertawa kecil melihat reaksi Kasumi dan Naoko yang sama – sama bergidik.
“Bagaimana menurutmu yang ini?” Naoko menghadap ke arah Kasumi.
“Coba yang satunya” meski enggan, toh Kasumi tidak boleh menampakkannya. Dan lagi kekesalannya bukan pada Naoko kan. Tapi pada Isao.
Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi.
“Dengan ini, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Menunjukkan kesopanan sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan” sang perias melepas topi yang tadi, diganti dengan alternatifnya.
“Gimana?”  alis Naoko naik, menunggu komentar Kasumi yang menahan keluh.
“Yang ini oke” dicobanya untuk mengukir senyum, tapi Kasumi gagal.
Kesopanan, kebijakan, kehormatan. Taek. Kasumi ingin teriak marah. Tak pernah bisa pupus dari benaknya, bayangan kejadian kala itu. Saat dirinya masih enam tahun, dan Isao mungkin tiga belas atau empat belas tahun. Isao menindihnya di kamar depan rumahnya.
Entah apa yang diajarkan Isao waktu itu padanya, tapi ada rasa dalam hati Kasumi bahwa dirinya tidak lagi terhormat dan berharga. Dia berharap Isao akan membayar perbuatannya itu suatu hari. Tapi hari ini, kenyataan menyatakan tidak
Sekarang, Isao di depan sana, mengenakan kimono pernikahan berwarna hitam. Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anaknya dengan menurunkan tudung Naoko. Setelah tadi ayahnya mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Kasumi menarik diri dari kerumunan keluarga. Disandarkannya punggung pada dinding dekat meja penerima tamu. Beberapa tamu yang datang belakangan tampak memasukkan goshugi atau uang pemberian dalam amplop ke dalam wadah yang disediakan. Meski ada juga yang memberikannya sesudah upacara pernikahan langsung pada pengantin. Diedarkannya pandangan menyapu ruangan. Ke meja – meja bundar  dengan para tetamu duduk melingkarinya. Sajian makanan mulai dihantarkan oleh panitia ke hadapan mereka.
Cerita – cerita dari keluarga dan teman – teman kedua belah pihak, lelucon, juga nasihat – nasihat para tetua mulai diperdengarkan dan dinikmati semua tamu yang hadir. Semua orang tampak berbahagia. Kecuali dirinya, Kasumi.
Beberapa orang bahkan juga menyumbang lagu, menyanyikan tembang – tembang romantic untuk pengantin dan tamu. Kasumi merasakan ada yang meleleh dari kedua ujung matanya. Semestinya kebahagiaan ini juga milikku, bisik hatinya terdalam. Saat Isao dan Naoko didaulat menyanyi oleh para tetamu dan mereka menyambutnya dengan menembangkan sebuah lagu, Kasumi langsung memalingkan wajahnya. Lagu itu bahkan lagu yang sangat kusukai karena aku mendengar untuk pertama kalinya waktu itu dari Isao.

Tooku de iki wo shiteru
toumei ni natta mitai
Kurayami ni omoeta kedo
mekakushi sareteta dake
Inori wo sasagete
atarashii hi wo matsu
Azayaka ni hikaru umi
sono hate made ee~
Hito no kokoro wa utsuri yuku
nukedashitaku naru
Tsuki wa mata atarashii shuuki
de mune wo tsureteku
Tabi wa mada tsuzuiteku
odayaka na hi mo
Tsuki wa mata atarashii shuuki
de mune wo terashidasu
Inori wo sasagete
atarashii hi wo matsu
Azayaka ni hikaru umi
sono hate made
Unmei no fune wo kogi
nami wa tsugi kara tsugi e to
Watashi-tachi wo osou kedo
sore mo suteki na tabi ne
Dore mo suteki na tabi ne…

Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya
Aku tidak pernah merasakan sehampa ini sebelumnya
Dan jika aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku,
Siapa yang akan membuatku nyaman, dan menjagaku tetap kuat?
Kita semua mendayung perahu nasib
Ombak terus datang dan kita tak dapat lari
Tapi jika kita tersesat
Ombak itu akan memandumu melewati hari yang lain
Jauh, Aku bernafas, seakan-akan aku tak terlihat
sepertinya aku dalam kegelapan, tapi sebenarnya hanya mataku saja yang ditutup
Aku berdoa sembari menanti hari yang baru
Bersinar terang hingga ke pinggir laut
Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya
Mungkin mereka sama sekali tak peduli
Tapi jika aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku
Aku tahu kau akan mengikutiku, dan menjagaku tetap kuat
Hati orang berubah dan mencoba berlepas diri
Bulan dalam perputarannya memandu perahu ini lagi
Dan tiap kali aku memandang wajahmu
Laut yang bergelombang mengangkat hatiku
Kau membuatku ingin mempertahankan dayung ini, dan segera
Aku dapat melihat ombak itu
Oh, Aku dapat melihat ombak itu
Kapankah aku melihat ombak itu?
Aku ingin kau tahu siapa aku sebenarnya
Aku tak pernah mengira aku merasakan hal ini padamu
Dan jika kau membutuhkan seseorang untuk menemanimu,
Aku akan mengikutimu, dan menjagamu tetap kuat
Dan perjalanan tetap berlanjut dalam hari-hari yang sepi
Bulan dalam perputarannya yang baru di atas perahu ini
Aku berdoa sembari menanti hari yang baru
Bersinar terang hingga ke pinggir laut
Dan tiap kali aku memandang wajahmu
Laut yang bergelombang mengangkat hatiku
Kau membuatku ingin mempertahankan dayung ini, dan segera
Aku dapat melihat ombak itu

“Kasumi. Ayo bantu yuk” seorang bibi yang menangkap basah dirinya sedang menghapus air mata,  malah meminta dirinya ikut sibuk dengan panitia lagi. Menyiapkan tandamata atau hikidemono berisi permen, peralatan makan dan pernak-pernik pernikahan. Yang sudah dipersiapkan malam sebelumnya, dimasukkan ke dalam sebuah tas.
“Nanti kamu ikut bagikan ke para tamu sesudah resepsi selesai untuk mereka bawa pulang” Kasumi hanya mengangguk mengiyakan petunjuk bibinya, sembari terus berusaha menghilangkan kabut dari kedua matanya.
Bagaimanapun dan apapun yang terjadi, dia tidak boleh terlihat sedih di depan Isao. Kasumi tidak pernah bisa membenci sepupunya itu. Isao banyak mengajarinya segala hal. Nilai  - nilai Kasumi yang cemerlang di sekolah juga karena  banyak bimbingan dari Isao. Yang ada tadinya sebenarnya hanyalah harapan dan harapan. Tetapi harapan itu sekarang telah pupus.
Kasumi tidak ingin melihat Isao jatuh jika dia menghinakannya dengan mengungkit kejadian waktu itu. Karena itu sama saja dengan menghinakan diri Kasumi sendiri. Karena tak ada yang tahu sejak itu, saat Kasumi semakin beranjak remaja,dia juga melampiaskannya pada mereka yang lebih kecil dari dirinya. Semua seperti lingkaran setan yang dimulakan oleh Isao. Lelaki di depan sana itu, yang sekarang sedang tampak menyalami tetamu yang memberikan selamat, adalah gurunya. Dan sebagai murid yang setia dan berbakti, Kasumi akan ikut berbahagia saja atas kebahagiaan gurunya meski hatinya perih. Pedih dan nyeri.

Read More ->>

Rabu, 26 Februari 2014

Trending Topic

1.Sinar dengan sepatu baru menankap batu dengan gaya baru dengan sepatu baru di depan boy net lewat sedikit
2. rhandy malu menjumpai erida saat di les "new concept " dan ingin nangis saat gue paksa
3 . kebakaran di girang satu menewaskan korban yaitu etok yg di tabrak oleh pemadam kebakaran dan orang-orang disitu ber inisiatif menbuat etok bakar dan ternyata setelah dimakan etok itu sangat enak sekali
Read More ->>

Kamis, 20 Februari 2014

Cerpen Gossip

Si Udeng waktu itu cerita pas malam-malam gelap di bawah sinar rembulan purnama dan auman serigala. Waktu itu malam jumat kliwon, suasana dingin dan suram banget. Bulu kuduk kami merinding saat Udeng menyalakan senter ke wajahnya yang ia sinari dari bawah dagu. Bukan apa-apa, senter itu terangnya minta ampun hingga kotoran dalem hidungnya terlihat jelas, belum lagi bulu-bulu hidung yang pada tekor, ngelanggar batasan wilayah antara kumis dan dua lubang hidung. Itu yang kami takutin, ngeri lihatnya!
Dengan senter yang masih menyinari wajahnya, ia berbisik lirih, “mau tahu rahasia Omen?” wajahnya mendramatisir, mata menyipit, hidung membengkak.
Kami tersergap rasa penasaran dan rasa ngeri. Kami serentak mengangguk dan memfokuskan perhatian pada orang berambut kribo ini. Lalu wajahnya kembali berekspresi seolah sedang baca puisi tentang seorang arwah penasaran yang gentayangan dan akan balas dendam. Hiii..
“Si Omen malu-maluin gua banget. Gua pernah lihat kebiasaan jeleknya!”
“Ah, kan semua kebiasaannya jelek” protes Said.
“Ini yang paling jelek!”
“Apa sih?” saya penasaran.
“Kemaren, waktu dia ngambek gara-gara gak kebagian lollipop, dia pergi.. kebetulan pas gua mau ke warung beli pembalut, gua lihat dia lagi jongkok sendirian di belakang rumah samping kontrakan!” mata Udeng melotot terlalu semangat cerita.
“Ngapain?”
“Nah, pas di intip..” sekarang matanya menyipit, tarik nafas, dan melotot lagi “Dia lagi ngacak-ngacak sepiteng orang!”
“Ngacak-ngacak?”
“Iya.. Kebetulan sepitengnya cuman ditutup kayu-kayu sama triplek. Kayu dan triplek ini di acak-acak, isi sepitengnya di aduk-aduk pake sebilah bambu, terus Omen ambil sekop, kumpulan tinjanya diambil, di berantakin dimana-mana”
(Mau buat pupuk kali ya?)
“Besoknya, yang punya rumah marah-marah ke rumah. Lemparin piring, gelas, sapu, sampah, panci, wajan, soto, rendang, sayur, ayam goreng, nasi juga buat sarapan, dan yang paling berharga ibu-ibu itu lemparin uang sama emasnya! Yah, lumayan buat modal malam mingguan..” wajah Udeng berubah bersei-seri.
“Berarti si Omen doyan tai dong?”
“Ia kali, gua sih gak peduli. Kan lumayan kalau ibu-ibu marah-marah lagi, dapet makanan, sampah, peralatan dapur, duit juga. Jadi sesering mungkin gua bakal bikin Omen ngambek lagi, biar dia ngacak-ngacak sepiteng lagi” sekarang wajahnya berubah licik.
“Gua gak percaya ah! itu cuman akal-akalan lu.” Protes saya, sebagai penggemarnya saya harus membela.
Mulai dari malam itu, anak-anak kecuali saya percaya sekarang Omen punya kelainan. Sebagai teman yang baik, kami gak berusaha jaga jarak dan jijik kalau ketemu dia. Dan sebagai penggemarnya, saya suka kasih tabloid khusus kesehatan dan kebersihan lingkungan, meskipun Omen gak pernah baca tabloidnya dan gak ngerti maksudnya, tapi saya selalu paksa dia buat baca!
Beberapa hari itu Omen selalu murung. Kerjaannya cuman ngelus-elusin kepala anjing peliharaannya sebelum dan setelah berangkat kerja. Ia terlihat begitu lemas dan lesu tak bersemangat, beberapa hari itu pula Omen gak pernah bicara sama siapapun di antara kami, teman-temannya. Yang saya takutin, Omen marah sama kami karena udah gossipin dia dari belakang secara sembunyi-sembunyi. Apa mungkin dia sakit hati? Seinget saya, dia gak pernah marah kalau cuman persoalan gini doang. Malah waktu Omen di gossipin punya hubungan sama anjingnya dia malah cuek dan cuman bilang, “No comment”. Padahal dia sendiri gak tahu apa artinya, katanya sih ngikutin aktris-aktris yang bilang no comment di acara gossip di televisi, biar kelihatan keren (Omen optimis berpikir kalau dia aktris). Di gossipin temen-temen adalah kebanggaan buatnya. Tanda ke-exis-an.
Terus apa sebenernya yang membuat Omen murung? Akhirnya setelah saya baca komik Detektif Konan, saya memberanikan diri untuk menyelidiki kasus itu. Tapi masalahnya saya gak pernah punya jubah dan topi yang bisa di bolak-balik depan-belakang! Sial!
Lalu…
“Mamah, lihat ada Superman cewek!”
“Kalau perempuan namanya bukan Superman nak, harusnya Superwoman… Hus! sanah pergi! Jangan ganggu anak saya, dasar orang gila!” ibu itu ngusir seorang cewek yang pake sepatu boot, celana pendek, kaos lengan panjang, topi jerami, ikat kepala khas pejuang kemerdekaan, topeng berbulu khusus buat bagian mata, dan sarung yang diikat ke leher (ceritanya itu jubah).
“Saya bukan Superwoman bu! saya detektif, gimana sih.. masa sekeren gini di sebut orang gila pula!”
Lalu saya pergi boseh sepeda nunggu Omen di tempat kerjanya. Kali aja disini ada petunjuk. Dan akhirnya setelah beberapa jam sembunyi di semak-semak, Omen keluar. Dari langkahnya, gak ada yang mencurigakan. Seperti biasa dia jalan ke arah jalan raya dan nunggu angkot buat pulang ke rumah Udeng. Begitu angkot lewat, Omen langsung naik. Bodohnya, saya lupa kenapa saya bawa sepeda, mana bisa kejar angkot pakai sepeda? Ah sial!!
Saya gak menyerah, dengan bersusah payah kaki ini terus memboseh. Sampai-sampai topi jerami yang saya curi dari rumah pengemis terbang. Tapi gak membuat kaki ini berhenti memboseh! terus, terus dan terus memboseh. Padahal waktu itu saya baru sembuh dari encok setelah beberapa kali ikut kelas terapi pijat Mak Enok. Itu lho, yang suka bilang “tingali tah!” sambil memamerkan perhiasan di tangannya, suka muncul di acara salah satu televisi yang banyak sinetronnya. (Sinetron = si miskin ketemu si kaya, jatuh cinta, gak di restuin, di penjara, eh ternyata si miskin kaya dan si kaya miskin, baru deh di restuin, masuk rumah sakit, di penjara lagi, makan malam, married, punya anak, anaknya ketuker, sakit lagi, dan gitu seterusnya!)
Lalu saya melewati taman, dan kehilangan jejak Omen. Ah tidak!
“Mah lihat, Superman cewek tadi ada lagi. Kok malah bawa sepeda, kan harusnya terbang?”
“Itu orang gila sayang, ayo ah pulang..” ibu itu cepet-cepet gendong dan bawa masuk anaknya ke mobil lalu pergi.
Yah.. meski disebut Superman gila untuk saat itu saya gak peduli. Yang penting adalah jejak Omen.
Akhirnya keajaiban datang! sepeda saya maju secepat kilat menyusul kendaraan lain yang ada di depan. Orang-orang begitu takjub dan terpana melihat saya. Jubah (sarung) ini berkibar dengan gagahnya di angkasa malam, mata saya picingkan tegas ke depan, “Tunggu gua Men.” Rasanya, saya memang cocok jadi detektif. Lalu tiba-tiba..
“Woy! Ngapain lu di belakang mobil? Saya mau angkut sayuran tau! sono turun-turun!”
Akhirnya lagi, keajaiban itu hilang sekejap. Mobil L300 itu pergi dan saya harus boseh lagi sepedanya. Tapi beruntung, ini sudah dekat dengan rumah Udeng. Dari kejauhan saya lihat Omen lagi ngobrol di depan warteg dengan seseorang. Dan saya hanya bisa mengawasinya dari jauh di seberang jalan. Seperti cara sembunyi tadi di tempat kerja Omen, saya memilih semak-semak lagi sebagai lokasi persembunyian dan pengintaian. Lalu tak jauh dari situ Omen pergi sendiri ke pekarangan rumah tetangga yang di ceritain Udeng waktu malam jumat kliwon itu.
Tapi malam begitu larut, saya terbawa suasana oleh posisi yang nyaman. Di tambah lagi Omen yang masih diam berdiri sendiri di belakang rumah itu hingga membuat saya bosan melihatnya dan, zzzZZzz… ( Sorry gak ngiler).
“Neng, bangun neng.. kenapa tidur di semak-semak?”
Saya tersentak dari mimpi melihat Omen makan tinja, di mimpi tadi mau muntah, tapi gak jadi gara-gara ada suara orang manggil-manggil. Segera saya masuk ke alam sadar dan ngucek-ngucek mata. Gak lupa nguap, “Huuaaii”.Terus yang bangunin saya tutup hidung.
“Buset dah bau amat neng”
“Nong nang nong neng!! nama gua bukan neng!”
“Eh bego lu Mil? Ngapain tidur di sini, mana pakean kayak orang gila lagi? Wah ini kan sarung gua!”
“Hehehe”
Lalu saya yang ketiduran dan Udeng yang pulang abis kencan balik ke markas (rumah Udeng). Berhubung ini udah jam 2 dini hari, kami cuma bisa berharap Omen yang ada di markas bisa di bangunin buat bukain pintu.
Tok tok tok tok tok tok, “Men, buka pintu!”
Tok tok tok!! dukg dukk! tok tok!!!
“Men bukaaa…!!”
Terus setelah beberapa kali ketok ketok pintu dan jendela, suara langkah kaki terdengar dari dalam. “Nah, pasti Omen!” sahut saya.
Ckklkk..
Berdiri seorang laki-laki dengan wajah garang, rambut kusut tanpa arah, jalannya sempoyongan, dan matanya merah!
“Men lu mabok ya?”
Omen gak menjawab sepatah kata pun, ia malah melotot melihat kami berdua dengan mata merahnya dan posisi berdiri miring kayak iklan Mizone.
“Woy? Wah bener nih Deng, si Omen mabok”
Omen kayaknya gak denger apa yang kami omongin. Dia malah asyik ngucek-ngucek matanya yang merah. Terus Omen nyengir dan, “APAAN TUH?”
Di sela-sela giginya banyak benda warna kuning nempel! ih, apaan coba? Dan pas dia nguap di depan muka kami,
“HHUAAIIAHH!!”
HAH! bau banget, kayak bau sepiteng.
“Wah bener-bener nih anak, beneran dia mabok Mil!” ungkap Udeng.
“Mabok apaan? Nyampe bau sepiteng kayak gini?”
“Ya berarti mabok tai. Tuh lihat giginya pada kuning, matanya merah, jalan sempoyongan gitu, nafasnya bau sepiteng. Ya mabok apalagi kalau bukan mabok tai?”
(Padahal abis makan opor ayam kuning di warteg tadi, tidur gak gosok gigi. Mata merah dan jalan sempoyongan karena masih linglung baru bangun tidur. Kalau masalah nafas bau sepiteng gak tau ya.. udah bawaan kali.)
Terakhir saya lihat Omen Meen emang dia lagi ada di belakang rumah tetangga itu, yang kata Udeng suka di acak-acak sepitengnya sama Omen. Yah, berarti bener kalau Omen punya kelainan yang akut.
Mulai dari malam itulah akhirnya saya percaya kalau Omen doyan tinja.. Omen Omen, sungguh malang nasib mu..
Read More ->>